Monday, October 28, 2013

I Had Several Wasted Years, But Not A Wasted Life

Orang bilang, jika kita terjatuh kita akan tahu cara untuk bangkit kembali dan tak akan jatuh lagi. Memang benar adanya bahwa hidup tak dapat diprediksi. Namun, hidup bukan angin lalu dan sekedar aliran air dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada pelajaran yang mampu dipetik di setiap langkah yang kita ambil. Moment yang sudah berlalu dapat kita jadikan pemantik untuk menyalakan semangat kehidupan yang akan datang di hadapan kita. Di sini, saya akan berbagi cerita tentang kehidupan yang saya lalui, sampai pada detik ketika saya menulis rangkaian kata di halaman ini. Tentang pahit manis yang saya rasakan, beserta turunan dan tanjakan yang saya lewati. Bukanlah untaian kata-kata emas yang menginspirasi, hanya berbagi cerita tentang bagaimana cara bersyukur dan berterima kasih atas segala nikmat yang kita miliki.

Era Putih Abu-Abu
Berawal pada penghujung masa sekolah menengah atas. Ketika saya mulai merasa sedang berada pada titik jenuh menjalani pendidikan di bangku sekolah. Rasanya malas bukan main, malam yang kurang tidur, harus bangun pagi, belajar di sekolah, menghadapi guru dan peraturan yang membuat saya muak saat itu. Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan pendidikan saya sepanjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah pertama. Sebuah keadaan yang selalu dapat dibanggakan oleh kedua orang tua saya khususnya, selain posisi saya yang selalu menempuh pendidikan di sekolah-sekolah favorit sejak kecil. Selama masa kejayaan itu, saya selalu berada pada jajaran ranking 10 besar. Menginjak sekolah menengah atas, perlahan mulai menurun. Sampai pada titik paling rendah yaitu saat kelas 3 SMA. Sering bolos, mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah yang bahkan tak jarang tidak saya kerjakan sama sekali, malas mencatat pelajaran, buku-buku materi pun mulus tak pernah saya sentuh. Imbasnya ranking saya pernah anjlok sampai ke nomor dua terendah dalam satu kelas. Di luar pendidikan, saya dan teman-teman memiliki kegiatan dalam bidang musik. Membentuk sebuah band  bersama teman-teman nongkrong sejak pertengahan kelas 2 SMA yang sedang gencar-gencarnya berlatih, rekaman, dan manggung kesana kemari. Aktivitas bermusik tersebut kadang kala mengharuskan saya untuk bolos tanpa alasan atau ijin dengan alasan bermacam-macam dari sekolah. Hobi begadang kala itu menyebabkan sebuah kebiasaan membolos ke rumah teman dan melanjutkan tidur di sana. Beruntung, saya masih berkesempatan mengikuti Ujian Akhir Nasional yang menentukan nasib tamat atau tidaknya pendidikan saya di SMA. Dengan berbagai cara dan usaha semampunya, akhirnya saya pun lulus dengan hasil yang cukup memuaskan di tahun 2008.

Bangku Kuliah dan Tahun-Tahun yang Terbuang
Berlanjut pada tahap selanjutnya untuk meneruskan pendidikan. Kedua orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, ditambah banyak dari teman-teman yang juga ikut mendaftar perguruan tinggi, akhirnya saya pun ikut mendaftar untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Satu-satunya perguruan tinggi negeri di Surakarta lah tempat tujuan saya saat itu. Kebetulan jurusan yang saya pilih sangat banyak memiliki peminat, sehingga kesempatan untuk lulus dan masuk ke jurusan tersebut lumayan sulit. Ada dua pilihan jurusan yang diharuskan untuk diambil, pertama saya memilih Ilmu Komunikasi dan yang kedua Sastra Inggris. Dengan kecewa, saya pun tak lulus. Gagal dengan tingkat S1, sebenarnya masih terbuka kesempatan untuk mendaftar tingkat D3. Sayang sekali kemalasan yang luar biasa dan naluri hidup bebas dalam diri membujuk untuk tidak mengambil kesempatan tersebut. Akhirnya, selama pertengahan tahun 2008 sampai pertengahan 2009 saya menjadi seorang pengangguran. Lulusan SMA yang hanya bisa keluyuran tak jelas, begadang dan berfoya-foya, siang jadi malam dan malam jadi siang, sibuk dengan nongkrong dan main band, hanya memikirkan kesenangan, dan menghabiskan uang orang tua.
Merasa menjadi orang yang tak berguna, tergeraklah hati saya untuk kembali mendaftar SNMPTN di tahun ajaran berikutnya. Kesempatan hadir kembali, saya mengambil target jurusan yang berbeda dengan sebelumnya. Ketertarikan saya dalam bidang bahasa mendorong saya untuk kembali memilih Satra Inggris, namun jurusan tersebut kali ini berada pada pilihan pertama. Sedangkan yang kedua Sastra Indonesia. Hasilnya menggembirakan, akhirnya saya lulus SNMPTN meski jurusan yang ada di pilihan kedua lah yang menjadi garis finish dari hasil tes memasuki perguruan tinggi tersebut. Walaupun demikian, satu yang menjadi catatan saya sampai saat ini tentang sistem pendidikan di negara kita, khususnya dalam hal ini adalah soal seleksi memasuki perguruan tinggi adalah, setiap orang memiliki tujuan (jurusan) dan kemampuan dasar yang berbeda-beda tetapi diharuskan menjalani tes yang sama. Ibarat menyuruh ikan, gajah, monyet, dan burung untuk memanjat sebuah pohon secara bersama-sama. Sayang beribu sayang, kiprah saya di era perkuliahan ini juga tidak mulus seperti yang diharapkan. Sifat malas dan seenaknya sendiri seperti beberapa tahun yang lalu sebelum kuliah masih terbawa. Aktivitas bermusik, nongkrong, begadang, pulang pagi, dan berfoya-foya masih saya tekuni. Banyak tugas dari dosen yang tak terselesaikan. Bolos-membolos kembali terulang. Hasilnya indeks prestasi saya di semester pertama saat itu hanya berada pada angka 0,91 dari angka maksimal 4. Berlanjut lagi sampai semester-semester berikutnya, masih akrab dengan indeks prestasi rendah saya yang tidak pernah menjangkau angka 2. Banyak mata kuliah yang harus diulang. Sangat tak berprestasi. Kalau seperti ini terus-menerus, gelar sarjana akan sulit untuk direngkuh. Harus menunggu belasan semester yang pastinya menghabiskan waktu bertahun-tahun, bahkan bisa terancam drop-out.
Ujungnya, pada pertengahan tahun 2012, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan. Saya mencoba memberanikan diri untuk berbicara enam mata dengan kedua orang tua saya, dengan rasa takut akan kemarahan besar mereka nantinya. Tapi, saya terlalu beruntung mempunyai kedua orang tua seperti bapak dan ibu saya. Mereka sama sekali tak marah mendengar keluhan dari anaknya. Saat itu, dengan usia yang bisa dibilang cukup dewasa, saya merasa hidup saya cuma bisa membebani orang tua. Meski beliau menuturkan bahwa masih bisa membiayai saya, anak sulung yang selalu dibangga-banggakan namun hanya mempu membalas dengan mengecewakan. Keputusan yang saya ambil terhitung kontroversial. tak sedikit yang tercengang dan menyayangkan keputusan saya tersebut. Tiga tahun berkuliah tanpa menghasilkan apa-apa. Saya pun bukan tanpa dosa setelah mengambil langkah tersebut. Penyesalan tak terhingga dan rasa bersalah yang luar biasa terus menghantui. Andai saja waktu bisa diulang. Saya masih ingat kata-kata ibu terhadap saya yang selalu diucapkan berulang-ulang, "Penyakit malas itu mbok ya dibuang jauh-jauh." Juga kata salah seorang teman, "Kamu itu sebenarnya pintar, cuma malas." Kalimat-Kalimat tersebutlah yang sampai sekarang selalu mendorong saya untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Get A Job, Get A Life
Kembali menganggur dan memutuskan untuk bekerja. Berbekal ijazah SMA dan jaringan pertemanan yang dipunyai, saya ikut bekerja bersama sebagian teman-teman nongkrong dan bermusik yang bekerja di sebuah rumah karaoke, melakoni pekerjaan sebagai operator dan maintenance service. Dari bekerja, apalagi dengan low-paid-job dan jadwal yang menekan, saya bisa belajar menghargai jerih payah yang ternyata susah untuk didapat. Sayangnya, saya masih saja akrab dengan dunia malam dan foya-foya yang juga menjadi bagian dari lingkungan kerja tersebut. Bukan ini yang saya cari, saya butuh pekerjaan jangka panjang untuk modal masa depan. Mengundurkan diri dari pekerjaan, saya masih punya cadangan amunisi pekerjaan. Saya kembali melemparkan lamaran ke beberapa perusahaan. Untuk ke sekian kalinya, keberuntungan senantiasa berpihak. Lamaran di perusahaan (pabrik) yang cukup ternama tempat ayah saya bekerja hingga pensiun, diterima. Saya ditempatkan pada posisi yang sama seperti ayah saya dulu, sebagai operator produksi. Otomatis, banyak sekali ilmu yang didapat dan saya terapkan di lingkungan kerja baru. Sebuah pencapaian yang sangat tak terduga. Melenceng jauh dari perkiraan saya sebelumnya. Bersekolah dengan jurusan Ilmu Sosial, berkuliah dengan jurusan Sastra, namun menjalani pekerjaan di bidang mesin yang dipadukan dengan teknik. Perusahaan bonafide dengan sistem yang terstruktur rapi dan upah yang layak tersebut membuat saya merasa betah dan nyaman. Saya merasa diselamatkan oleh sang pembuat skenario kehidupan. Jadwal kerja yang tertata memicu saya untuk rajin dan tidak malas lagi. Sifat malas dan kenakalan remaja cukup menjadi bagian dari masa lalu, gejolak kawula muda. Perlahan saya mulai kenyang akan hal-hal buruk tersebut dan selalu memperbaikinya untuk menjadi sesorang yang lebih baik. Senang bisa membuat orang tua, keluarga, dan orang-orang terdekat saya kembali tersenyum. Kepercayaan dan dukungan dari mereka kembali hadir dan tidak akan pernah saya sia-siakan lagi. Di sinilah saya mulai menemukan jati diri, merasa menjadi manusia yang baru.

Penyesalan memang selalu datang menyusul. Banyak sekali penyesalan yang masih mengganjal seperti, mengapa tidak dari dulu saya memilih untuk bekerja? Mengapa saya menyia-nyiakan kesempatan kuliah di saat banyak pihak di luar sana ingin berkuliah tapi tidak mampu untuk mewujudkannya? Durasi menuntut ilmu yang hanya 5-6 jam per hari saja malas, mengantuk, dan seenaknya sendiri ternyata bukan apa-apa bila dibandingkan bekerja seperti sekarang ini dengan durasi 8-10 jam per hari dan tak punya kesempatan untuk bersantai-santai. Dan yang paling jelas, berapa banyak hutang saya terhadap orang tua atas segala sesuatu yang telah saya hambur-hamburkan? Penyesalan-penyesalan tersebut terhimpun menjadi sebuah pukulan yang sangat kuat untuk membuat tubuh ini jatuh tersungkur. Mati? Tidak, saya memilih bangkit. Sebelum terlambat, selagi masih ada kesempatan untuk kembali berdiri tegak. Jatuh, belajar dan berusaa untuk bangun, berdiri, dan jangan sampai jatuh lagi. Yes, I had several wasted years, but not a wasted life. Ya, saya punya tahun-tahun yang terbuang, tapi saya tidak hidup dengan sia-sia begitu saja.

No comments:

Post a Comment